Sabtu, 19 Mei 2012

Aku (tidak) bahagia. [part 1]




Aku (tidak) bahagia.
* terserah bagaimana anda membacanya






Ini adalah kisah tentang seorang anak, dia yang akan menjadi ayah. Tentang seorang kekasih, yang sangat mencintai istrinya kelak. Bakti seorang putra pada orang tua-nya, karena dia juga akan memiliki anak-anak yang sangat baik. Kisah ini tentang seorang pria yang hidup demi keluarganya. Perjuangan anak manusia yang pernah dan akan dialami semua orang. Kata hati yang tidak seorangpun meragukannya. Dia bukan siapapun, hingga akhirnya dia bisa berkata, " demi keluargaku ".


Sebuah dusun kecil, 23 Desember 1970.
Tujuh tahun setelah kelahirannya, bocah ini tetap menjadi anak yang cerdas, selalu ranking tiga besar setiap cawunya. Bersekolah disebuah Sekolah Rakyat (SR) ditepi bukit yang cukup jauh dari rumahnya. Hobinya bermain bola, tapi selalu jadi kiper. Ya, dia selalu ditugaskan menjadi kiper oleh teman-temannya, karena mereka khawatir sang bocah akan terjatuh jika berlari dengan kaki kirinya yang bulat itu. Walaupun jemarinya hanya dua ruas, namun selalu sigap menghadapi bola yang berdatangan.
Acap kali berlari-lari disawah milik orang lain, sang empunya sawah pasti marah dan dia pasti selalu ketahuan." Dasar Halim nakal, pasti kamu kan yang udah acak-acak sawah! ga ada anak lain yang punya tapak kaki kaya kamu!" .
Halim, sang bocah itu, hanya ketawa cengengesan "hehe, iya mang, maaf yahh" lalu lari lagi menghampiri dunia kecilnya yang amat menyenangkan.

Kesukaannya adalah pelajaran matematika, karena dari situlah dia memiliki banyak teman.
"Halim, bantuin aku ngerjain PR matematik dong, nanti hadiahnya aku kasih gula merah dehh, yah Halim yah"
Sang bocah mengangguk senang tanda setuju. Dia nakal, tapi cerdas. Dia memiliki keterbatasan fisik, tapi tak pernah membatasinya menikmati hari-hari sebagai bocah kampung penggila bola. Suatu hari sang ayah menjanjikannya untuk melanjutkan pendidikannya disebuah pesantren terkenal. Tak ayal sangat senang hatinya, karena kala itu sangat sedikit orang yang bisa melanjutkan pendidikan setamat SR. Bisa sekolah saja sudah untung.

Namun apa daya takdir berkata lain, diawal kelas enam SR, saat itu ayahnya yang menderita bronkitis memintanya untuk berenti sekolah. "Mak mu sibuk kerja gantiin bapak. Kamu ga usah sekolah aja, jagain bapak disini".
Tanpa penolakan sedikitpun, Halim kecil menuruti keinginan orangtuanya, meninggalkan keinginannya untuk terus bersekolah.

Sekitar 10 bulan kemudian, kepala sekolah mendatangi rumahnya, mengabari bahwa ujian akhir telah tiba dan meminta Halim untuk ikut ujian.
Ibunya berkata, "Gimana bisa si Halim ikut ujian, kan udah ga sekolah lagi sejak awal kelas 6".
Tak usah khawatir kata kepala sekolah,  ujian saja. Dia memiliki keyakinan besar bahwa Halim pasti bisa lulus. Seusai waktu ujian dan tiba waktu pengumuman, benar saja yang dikatakan kepala sekolah, bahkan lebih mengejutkan lagi ternyata Halim lagi-lagi berhasil menjadi juara 1. Walaupun tidak bersekolah selama setahun namun tetap saja predikat juara 1 bisa diraihnya. Tapi kebahagiaan tersebut tidak bisa dinikmati terlalu lama, karena tak lama kemudian ayah Halim dipanggil sang khalik. Semenjak saat itulah kehidupan Halim berubah menjadi petualangan tak kenal lelah. Diusia belia dia sudah harus siap menjadi tulang punggung, mau tidak mau. Impiannya untuk bersekolah dipesantrenpun hanya tinggal mimpi. Sebuah mimpi yang tercipta untuk kandas. Tapi apakah hidupnyapun akan kandas juga? Lembar berikutnyalah yang akan menjawab,....

Bersambung..
Inspired by people I love most



Tidak ada komentar:

Posting Komentar