
Tataplah mataku, aku melihat wajah itu setiap hari.
Kau memakai topeng-mu dan berhasil menipu dunia.
Tapi tidak diriku, aku bisa melihat siapa dirimu sesungguhnya.
Aku lelah melihatmu, jenuh mengurusimu.
Yang terus tergerus oleh ketakutan masa kecilmu.
Kau terluka, dan aku yang harus mengobatinya.
Kau menangis, dan aku yang harus menyekanya air matamu.
Kau berteriak, dan aku yang harus menenangkanmu.
Dan kau tetap selalu begitu, bahkan aku tak tahu apa waktu bisa menghapus semua ini.
Aku telah berusaha sekeras mungkin meyakinkan diriku sendiri.
Bahwa dirimu itu sebenarnya tak pernah tercipta.
Tapi ada dirimu terlalu nyata untuk buatku nelangsa.
Suaramu, helaan nafasmu, bahkan detak jantungmu, semua mengalun bersimfoni senandung parau.
Kau bermarah, hanya bisa menghukum dinding-dinding dingin.
Entah mana yang harus aku kasihani, dinding yang tak bersalah, atau kepalan merah tanganmu itu.
Kau bergelut dengan hidupmu, mengusir sendu sendiri.
Aku selalu bilang, itu takkan pernah mudah.
Tapi kau selalu memaksa, dan aku hanya bisa berdiri, disini-sendiri, melihatmu selalu terluka ditempat yang sama (menunjuk kehati).
Disetiap hari, saat malam mulai meraung, aku tertekan depresi, tak pernah merasa aman, kau itu kelakar terror!
Sepertinya, aku takkan pernah sanggup untuk menyelamatkanmu.
Hanya mampu menyaksikan wajah parau itu setiap harinya.
#
Aku menatapmu iba.
Saat kau menunduk pada genangan air.
Saat kau menoleh kearah cermin.
Saat kau melukis wajahku.
Aku, yang terpaku lelah, jenuh oleh lemah yang tak bisa menyelamatkanmu, dari ketakutan masa kecilmu, sendiri.
Who will save me from my-self!?